Raden memandangnya hari ini.
Masih dari balik jendela kamarnya
yang terletak di lantai dua, tentunya. Desember. Hmm, mendung rupanya tetap
menjadi ciri khas bulan ini. Aman saja selama belum turun hujan. Pandangannya
masih tertuju pada sosok gadis yang berdiri di bawah pohon rindang dekat halte
bus yang berada di pinggir jalan tersebut. Seorang gadis dengan sweater abu-abunya
yang masih sama setiap harinya, dengan rambutnya yang terurai berantakan (entah
dia lupa menyisirnya atau bagaimana), raut muka yang mencerminkan bak seorang
mahasiswa yang sedang dikejar deadline, ditambah sebuah balon berwarna
putih di tangan kanannya.
“Kenapa harus balon dan berwarna
putih? Dan kenapa juga harus di bawah pohon? Jelas dia tidak lagi berteduh kan,
karena memang tidak lagi hujan”, pertanyaan-pertanyaan
tersebut berlomba-lomba menyerobot masuk ke kepala Raden. Sesekali Raden
mengusap kaca jendela yang mulai mengembun akibat desah nafasnya, masih
memandang gadis di luar sana seakan ingin tahu apa yang akan dilakukannya.
Gadis tersebut menoleh ke kanan
kiri yang jelas-jelas tidak sedang ada orang di sana. Sesekali dia berjalan ke
arah halte kemudian duduk beberapa detik, kemudian berjalan kembali ke arah
pohon tersebut. Sudah lima menit dia melakukan ritual tersebut, tiba-tiba dia
melepaskan balon yang ada dalam genggamannya dan membiarkan terbang begitu
saja. Raden hanya menganga melihat peristiwa tersebut yang terus berulang
selama 3 minggu belakangan ini. Lamunan Raden terbuyarkan oleh suara dering
hp-nya. Raden berusaha tidak memikirkan beberapa menitnya yang terbuang sia-sia
karena ‘menonton’ adegan barusan.
Raden (masih) memandangnya hari
ini. Walaupun selalu mengeluh karena beberapa menitnya terbuang sia-sia, tapi
di sinilah Raden masih berdiri di balik jendela kamarnya.
Masih sama seperti hari-hari
sebelumnya. Pukul li-ma so-re. Gadis itu masih dengan sweater abu-abunya,
rambut terurainya yang semakin hari semakin berantakan, dan tak ketinggalan
balon putih di tangan kanannya. Masih dengan pertanyaan yang sama setiap kali
Raden memandang gadis tersebut. Tak hanya itu, muncul lagi
pertanyaan baru di kepala Raden. Sampai kapan dia akan melakukan hal
tersebut?
Seakan sudah hafal dengan apa yang
sudah dilakukan oleh gadis itu. Raden dengan mudah menebak bagaimana proses
‘ritual’ tersebut berjalan. Pertama, gadis tersebut berdiri di bawah pohon,
menengok ke kanan kirinya memastikan tidak ada orang-orang di sana dengan
gelisah. Kedua, dia berjalan ke arah bangku halte dan duduk di sana sambil
mengamati ujung sepatunya. Ketiga, dia bangkit dari duduknya dan kembali ke
posisi semulanya. Begitu seterusnya hingga lima menit berlalu. Terakhir, dia
melepaskan balon di tangannya dan membiarkannya terbang menghilang.
Raden mendesah dengan keras, namun…
Raden tersenyum. Rupanya kali ini Raden sadar, sekeras apapun dia mengeluh
tetap saja dia meluangkan beberapa menitnya di jam li-ma so-re untuk mengamati
langsung sebuah karya Tuhan yang unik itu.
“Ia dihina dan dihindari orang,
seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan (Yesaya
53:3a)”
Seperti ada yang berbisik di
telinga Raden. Senyum di wajah Radenpun menghilang dan sontak dia menoleh ke
kanan kirinya mencari sumber suara tersebut dan tak mendapati seorangpun selain
dirinya di kamarnya. Raden berjalan ke arah meja belajar di samping tempat
tidur, menggapai sebuah Alkitab dan mulai mencari ayat yang baru saja
didengarnya itu. Ditemuinya ayat tersebut sama persis dengan apa yang dia
dengar.
“Dalam sekali. Tapi,… Apa
maksudnya?”, bisik Raden. Tak ingin ambil pusing, Raden menutup Alkitabnya dan
turun ke lantai bawah berusaha untuk melupakan kejadian barusan.
Berbeda dengan hari-hari
sebelumnya. Kali ini Raden tidak menyaksikan dari jendela kamarnya. Raden
berlari-lari kecil karena takut terlambat menyaksikan ritual kesehariannya.
Ketika dilihatnya gadis itu sudah duduk di bangku halte tersebut, refleks Raden
bersembunyi di balik tembok rumah tetangganya. Raden menghembuskan nafas lega
dan tertawa kecil karena menyadari dirinya tidak melewati aksi gadis tersebut.
Baginya menit-menit yang dulu terasa terbuang sia-sia, kini menjadi menit-menit
yang menyenangkan.
Raut muka Raden berubah. Dia
mengernyitkan dahinya. Tidak! Itu tidak seperti biasanya. Gadis itu selalu
melepaskan balonnya pada akhirnya. Namun, kenapa hari ini dia justru mengikat
tali balon ke batang pohon dan membiarkan balon tersebut terbang seadanya?
Raden menghampiri pohon tersebut dan menyadari ada sebuah gulungan kertas
terikat di ujung tali tersebut. Perlahan Raden membuka gulungan tersebut dan
mendapati sebuah tulisan di sana:
Hi Ibu, Bintang rindu. Satu tahun
berlalu dan tiada hari yang kulewati tanpa merindukanmu. Desember, bulan paling
memberatkan bagiku. Seharusnya di bulan ini orang-orang berbahagia karena
lahirnya Juru Selamat kan? Kenapa aku justru kehilangan nahkoda-ku tepat di
malam natal? Besok natal loh, Bu.
Masih jelas ku ingat hari waktu Ibu
pergi. Ibu pergi begitu saja. Tanpa pesan. Tanpa pamit padaku. Membiarkan
anakmu yang sedang merantau ini berhasil menyalahkan dirinya sendiri akibat
terlalu percaya pada sandiwaramu. Kenapa harus kau katakan ‘baik-baik saja’
setiap kali aku menelponmu, padahal saat itu mungkin kau sedang tersiksa
menahan rasa sakitmu. Andai saja tak ku desak ayah untuk memberi tahu alasan
kepergianmu, mungkin sampai sekarang aku tetap percaya bahwa kau memang
baik-baik saja. Aku hampir saja menyalahkan Tuhan atas kepergianmu. Sekarang
aku tahu alasanmu selalu mengatakan bagiku hidup adalah Kristus dan mati
adalah keuntungan (Filipi 1:21). Aku yakin Ibu sedang bahagia di sana
sementara anakmu masih berusaha bahagia di sini.
Satu bulan ini aku selalu datang ke
tempat yang sama dan melakukan hal yang sama. Aku masih ingat waktu aku masih
sekolah dan pengen banget untuk pergi ke pasar malam namun ayah selalu
melarangku ke sana, ayah selalu mengatakan banyak penculik di sana. Namun, satu
hari saat ayah pergi ke luar kota, ibu diam-diam mengajakku ke sana naik bus
yang selalu berhenti di halte ini. Selain itu, ibu ingat tidak? Suatu hari aku
pernah merengek untuk dibelikan boneka Barbie ke ayah, namun lagi-lagi ayah
menolak dengan keras. Ibu yang mengajariku untuk menuliskan setiap permohonanku
ke Tuhan dan mengikatnya pada sebuah balon lalu menerbangkannya. Ibu selalu
berkata balon itu tau ke mana ia harus terbang dan balon tersebut akan
menyampaikan suratmu ke Tuhan. Lalu, beberapa hari selanjutnya ibu memberikanku
boneka Barbie dengan mengatasnamakan ayah, padahal aku tau ibu yang membelinya.
Ya, itulah yang aku lakukan selama
satu bulan ini. Aku bukan meminta Tuhan untuk mengembalikan ibu kepadaku.
Namun, aku hanya ingin menyampaikan kerinduanku padamu karena rindu ini terlalu
menyiksa untuk di simpan sendiri. Mulai hari ini, Bintang akan hidup dengan
baik. Salamku untukmu ibu, aku mengasihimu.
“Bintang…”, bisik Raden. Dia
teringat akan ayat yang ia dengarkan kemarin dan menyadari bahwa orang yang
dimaksud adalah gadis tersebut. Raden memejamkan mata sejenak, mengucap syukur
atas semua yang dia punya. Sebagian dari doanya terbentur ke atas langit
mendung yang mulai menurunkan rintik-rintiknya, melunturkan tinta pena pada
kertas yang sedang dipegang Raden itu.
Sejak hari itu, Bintang tak lagi
datang ke tempat itu dan melakukan kebiasaannya lagi.
Karya : Irene.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah menulis komentar yang positif.