Sunday, 24 December 2017

Silence of Christmas Eve

Image result for white balloon tumblr
Raden memandangnya hari ini.
Masih dari balik jendela kamarnya yang terletak di lantai dua, tentunya. Desember. Hmm, mendung rupanya tetap menjadi ciri khas bulan ini. Aman saja selama belum turun hujan. Pandangannya masih tertuju pada sosok gadis yang berdiri di bawah pohon rindang dekat halte bus yang berada di pinggir jalan tersebut. Seorang gadis dengan sweater abu-abunya yang masih sama setiap harinya, dengan rambutnya yang terurai berantakan (entah dia lupa menyisirnya atau bagaimana), raut muka yang mencerminkan bak seorang mahasiswa yang sedang dikejar deadline, ditambah sebuah balon berwarna putih di tangan kanannya.
“Kenapa harus balon dan berwarna putih? Dan kenapa juga harus di bawah pohon? Jelas dia tidak lagi berteduh kan, karena memang tidak lagi hujan”, pertanyaan-pertanyaan tersebut berlomba-lomba menyerobot masuk ke kepala Raden. Sesekali Raden mengusap kaca jendela yang mulai mengembun akibat desah nafasnya, masih memandang gadis di luar sana seakan ingin tahu apa yang akan dilakukannya.
Gadis tersebut menoleh ke kanan kiri yang jelas-jelas tidak sedang ada orang di sana. Sesekali dia berjalan ke arah halte kemudian duduk beberapa detik, kemudian berjalan kembali ke arah pohon tersebut. Sudah lima menit dia melakukan ritual tersebut, tiba-tiba dia melepaskan balon yang ada dalam genggamannya dan membiarkan terbang begitu saja. Raden hanya menganga melihat peristiwa tersebut yang terus berulang selama 3 minggu belakangan ini. Lamunan Raden terbuyarkan oleh suara dering hp-nya. Raden berusaha tidak memikirkan beberapa menitnya yang terbuang sia-sia karena ‘menonton’ adegan barusan.
Raden (masih) memandangnya hari ini. Walaupun selalu mengeluh karena beberapa menitnya terbuang sia-sia, tapi di sinilah Raden masih berdiri di balik jendela kamarnya.
Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Pukul li-ma so-re. Gadis itu masih dengan sweater abu-abunya, rambut terurainya yang semakin hari semakin berantakan, dan tak ketinggalan balon putih di tangan kanannya. Masih dengan pertanyaan yang sama setiap kali Raden memandang gadis  tersebut.  Tak hanya itu, muncul lagi pertanyaan baru di kepala Raden. Sampai kapan dia akan melakukan hal tersebut?
Seakan sudah hafal dengan apa yang sudah dilakukan oleh gadis itu. Raden dengan mudah menebak bagaimana proses ‘ritual’ tersebut berjalan. Pertama, gadis tersebut berdiri di bawah pohon, menengok ke kanan kirinya memastikan tidak ada orang-orang di sana dengan gelisah. Kedua, dia berjalan ke arah bangku halte dan duduk di sana sambil mengamati ujung sepatunya. Ketiga, dia bangkit dari duduknya dan kembali ke posisi semulanya. Begitu seterusnya hingga lima menit berlalu. Terakhir, dia melepaskan balon di tangannya dan membiarkannya terbang menghilang.
Raden mendesah dengan keras, namun… Raden tersenyum. Rupanya kali ini Raden sadar, sekeras apapun dia mengeluh tetap saja dia meluangkan beberapa menitnya di jam li-ma so-re untuk mengamati langsung sebuah karya Tuhan yang unik itu.
“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan (Yesaya 53:3a)”
Seperti ada yang berbisik di telinga Raden. Senyum di wajah Radenpun menghilang dan sontak dia menoleh ke kanan kirinya mencari sumber suara tersebut dan tak mendapati seorangpun selain dirinya di kamarnya. Raden berjalan ke arah meja belajar di samping tempat tidur, menggapai sebuah Alkitab dan mulai mencari ayat yang baru saja didengarnya itu. Ditemuinya ayat tersebut sama persis dengan apa yang dia dengar.
“Dalam sekali. Tapi,… Apa maksudnya?”, bisik Raden. Tak ingin ambil pusing, Raden menutup Alkitabnya dan turun ke lantai bawah berusaha untuk melupakan kejadian barusan.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kali ini Raden tidak menyaksikan dari jendela kamarnya. Raden berlari-lari kecil karena takut terlambat menyaksikan ritual kesehariannya. Ketika dilihatnya gadis itu sudah duduk di bangku halte tersebut, refleks Raden bersembunyi di balik tembok rumah tetangganya. Raden menghembuskan nafas lega dan tertawa kecil karena menyadari dirinya tidak melewati aksi gadis tersebut. Baginya menit-menit yang dulu terasa terbuang sia-sia, kini menjadi menit-menit yang menyenangkan.
Raut muka Raden berubah. Dia mengernyitkan dahinya. Tidak! Itu tidak seperti biasanya. Gadis itu selalu melepaskan balonnya pada akhirnya. Namun, kenapa hari ini dia justru mengikat tali balon ke batang pohon dan membiarkan balon tersebut terbang seadanya? Raden menghampiri pohon tersebut dan menyadari ada sebuah gulungan kertas terikat di ujung tali tersebut. Perlahan Raden membuka gulungan tersebut dan mendapati sebuah tulisan di sana:
Hi Ibu, Bintang rindu. Satu tahun berlalu dan tiada hari yang kulewati tanpa merindukanmu. Desember, bulan paling memberatkan bagiku. Seharusnya di bulan ini orang-orang berbahagia karena lahirnya Juru Selamat kan? Kenapa aku justru kehilangan nahkoda-ku tepat di malam natal? Besok natal loh, Bu.
Masih jelas ku ingat hari waktu Ibu pergi. Ibu pergi begitu saja. Tanpa pesan. Tanpa pamit padaku. Membiarkan anakmu yang sedang merantau ini berhasil menyalahkan dirinya sendiri akibat terlalu percaya pada sandiwaramu. Kenapa harus kau katakan ‘baik-baik saja’ setiap kali aku menelponmu, padahal saat itu mungkin kau sedang tersiksa menahan rasa sakitmu. Andai saja tak ku desak ayah untuk memberi tahu alasan kepergianmu, mungkin sampai sekarang aku tetap percaya bahwa kau memang baik-baik saja. Aku hampir saja menyalahkan Tuhan atas kepergianmu. Sekarang aku tahu alasanmu selalu mengatakan bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Filipi 1:21). Aku yakin Ibu sedang bahagia di sana sementara anakmu masih berusaha bahagia di sini.
Satu bulan ini aku selalu datang ke tempat yang sama dan melakukan hal yang sama. Aku masih ingat waktu aku masih sekolah dan pengen banget untuk pergi ke pasar malam namun ayah selalu melarangku ke sana, ayah selalu mengatakan banyak penculik di sana. Namun, satu hari saat ayah pergi ke luar kota, ibu diam-diam mengajakku ke sana naik bus yang selalu berhenti di halte ini. Selain itu, ibu ingat tidak? Suatu hari aku pernah merengek untuk dibelikan boneka Barbie ke ayah, namun lagi-lagi ayah menolak dengan keras. Ibu yang mengajariku untuk menuliskan setiap permohonanku ke Tuhan dan mengikatnya pada sebuah balon lalu menerbangkannya. Ibu selalu berkata balon itu tau ke mana ia harus terbang dan balon tersebut akan menyampaikan suratmu ke Tuhan. Lalu, beberapa hari selanjutnya ibu memberikanku boneka Barbie dengan mengatasnamakan ayah, padahal aku tau ibu yang membelinya.
Ya, itulah yang aku lakukan selama satu bulan ini. Aku bukan meminta Tuhan  untuk mengembalikan ibu kepadaku. Namun, aku hanya ingin menyampaikan kerinduanku padamu karena rindu ini terlalu menyiksa untuk di simpan sendiri. Mulai hari ini, Bintang akan hidup dengan baik. Salamku untukmu ibu, aku mengasihimu.
“Bintang…”, bisik Raden. Dia teringat akan ayat yang ia dengarkan kemarin dan menyadari bahwa orang yang dimaksud adalah gadis tersebut. Raden memejamkan mata sejenak, mengucap syukur atas semua yang dia punya. Sebagian dari doanya terbentur ke atas langit mendung yang mulai menurunkan rintik-rintiknya, melunturkan tinta pena pada kertas yang sedang dipegang Raden itu.
Sejak hari itu, Bintang tak lagi datang ke tempat itu dan melakukan kebiasaannya lagi.


Karya : Irene.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah menulis komentar yang positif.