Saturday, 10 October 2015

Memori Tentang Hujan

Hujan.
Dingin. Basah. Mendung.
Telingaku berdengung, menolak mendengar suara di sekitar. Semuanya terpusat hanya padaku dan hujan.
Seperti butir hujan yang terasa dingin ketika menyentuh ari-ari, lantai tempatku berbaring kini juga terasa dingin. Menusuk ke tulang dan membuatku menggigil. Gigiku bergemeletuk dan bibirku membiru bergetar karenanya. Kendati demikian, aku tetap telentang tanpa mau berpindah. Rasanya tubuhku tahu bahwa dingin ini tepat.
Jika aku memiringkan kepalaku ke arah jendela, aku bisa melihat kaca jendela kamarku yang perlahan basah. Butir-butir hujan mengairinya. Dan sama seperti jendela, pipiku juga sudah basah karena mataku. Karena mataku ikut-ikutan hujan. Aku tidak menyeka ataupun mengelapnya. Aku biarkan saja begitu hingga mengering, sama seperti nasib jendela yang terabaikan.
Akan tidak lengkap rasanya jika ada dingin dan basah kala hujan namun mendung menjadi pengecualian. Tanpa menengadah ke atas langit pun aku bisa tahu jika tidak ada yang namanya cerah di sana, kecuali jika hujan panas.
Hujan panas itu berbeda. Namanya saja panas, itu artinya ia bukanlah hujan yang biasa. Ia memang basah, namun ia tidak dingin dan tidak mendung. Langit tetap cerah dan aku tidak perlu mengenakan jaket. Tapi aku menyukainya. Ia seperti hal nya menangis bahagia. Basah namun rasanya hangat.
Jika dipikir-pikir, mengapa sekarang tidak hujan panas saja?


Setiap orang memiliki titik kelemahannya masing-masing. Entah itu pada fisik, mental, ataupun lingkungannya.
Untukku sendiri, hujan menjadi titik terlemahku. Ia tidak hanya menyerang satu aspek, namun ketiga-tiganya sekaligus. Fisikku, mentalku, lingkunganku. Sama seperti apa yang terjadi sekarang ini.
Jika sudah seperti ini, aku biasanya akan selalu bertanya,
“Kapan hujan berhenti?”
Tidak akan ada yang menjawab, aku tahu itu. Namun rasanya terasa lebih ringan jika seperti itu. Aku jadi tidak perlu mendengar harapan-harapan palsu seperti:
“Sebentar lagi.”
“Mungkin nanti malam.”
“Paling sejam dua jam lagi.”
Lebih baik aku tidak menaruh harapan pada jawaban-jawaban seperti itu. Aku lebih memilih menunggu sendiri, membiarkan melodi hujan terus mengalun hingga nada penghabisan. Aku tidak menikmatinya, namun itu lebih baik.
“Lalu mengapa hujan menjadi titik terlemahmu?”
Pernah suatu kali seorang teman dari teman bertanya tanpa basa-basi. Ia hanya memasang wajah penasarannya seolah menuntut diberi makan.
Aku hanya mendesah pelan lalu dengan tenang menjawab, “Karena dia dingin, basah, mendung.”
Seolah tidak puas, ia tetap memandangiku dengan haus. Tanpa diucapkan pun, aku sudah tahu dia meminta penjelasan lebih.
Temanku yang lain juga ikut menunggu, mungkin heran dengan ucapanku barusan.
“Apa yang paling kalian takutkan dalam kehidupan kalian?” Akhirnya aku balik bertanya sebelum menjawab mereka.
Dengan pose berpikir mereka saling menjawab,
“Kehilangan.”
“Kematian.”
“Sendiri.”
“Ditinggalkan.”
Aku tersenyum, “Hujan memberiku semua ketakutan itu.”
Semua alis mereka seketika bertaut.
Aku tertawa kecil, menertawai keheranan mereka.
“Bisa dibilang hujan adalah sumber dari semua ketakutanku itu. Tetapi berbeda dengan kalian, semua ketakutanku itu sudah terjadi. Dan setiap kali hujan, memori tentang ketakutan-ketakutan itu menguar, menguap, dan mengendap.”
Wajah penasaran mereka kini sudah hilang. Dari raut wajah mereka, ada rasa bersalah karena sudah menanyakan hal sesensitif itu.
“Jangan khawatir. Aku tidak masalah kok.” Ucapku. Aku tidak menginginkan rasa iba mereka.
Tapi seperti yang lain-lain, iba mereka pun akhirnya menempel padaku. Tiap kali hujan, pasti akan selalu ada pesan-pesan masuk seperti:
“Kau baik-baik saja?”
“Apa aku perlu datang ke sana?”
Dan pesan-pesan iba lainnya. Aku tidak pernah membalasnya karena biasanya aku baru membaca semua pesan itu lama setelah hujan berhenti. Dan tiap kali aku membuka semua pesan-pesan itu, aku hanya bisa terkikik.
Sejenak terpikir olehku untuk tidak pernah menceritakan hal ini kepada mereka.


Apa sebenarnya yang terjadi ketika hujan?
Air mata mungkin bisa mewakilkan jawabannya jika ada orang yang bertanya.
Namun setiap kali situasi seperti ini terjadi, hanya air mata rasanya tidak cukup. Memori-memori itu pasti akan selalu teringat olehku.
Dengan jelas, semuanya itu mengalir deras dalam kepalaku dan bermuara di pelupuk mataku.
Wajah-wajah itu terbayang olehku. Senyuman-senyuman itu teringat olehku. Kejadian terakhir kali itu rasanya sudah terekam baik dan kembali diputar dengan cepat.
“Kami akan pulang sebelum tengah malam.”
“Jaga rumah baik-baik.”
“Seandainya kau tidak sakit begini, kami pasti sudah membawamu.”
Dan semua kalimat-kalimat hari itu terus meluncur tanpa henti. Hingga ia akan berhenti dan disusul suara telepon yang segera kuangkat.
“Selamat malam....Benar ini dengan.....Maaf kami harus memberitahukan.....Ada kecelakaan yang....Semuanya mati di........”
Pada titik itu semua emosiku akan bercampur. Aku tersenyum, meringis, tertawa, berteriak, hingga akhirnya teriakanku memecah kesunyian dan tangisku meledak seketika.
Aku meraung. Aku meringis.
Nafasku tercekat. Suaraku tertahan.
Dadaku sakit. Mataku panas.
Aku benar-benar tersiksa.


Alasan semua rasa sakit ini adalah rasa sesalku. Aku belum bisa menyampaikan semua yang seharusnya sudah kusampaikan. Aku belum bisa melakukan apa yang seharusnya sudah kulakukan. Itu membuatku sesak dan hujan menjadi satu-satunya jalan untuk meluapkan semuanya.
Aku tidak bisa menyalahkan hujan atas apa yang kini terjadi padaku hanya karena mereka pergi ketika hujan sedang turun dengan derasnya. Ini bukan salah hujan. Aku juga tidak bisa menyalahkan mereka karena pergi di saat yang salah. Ini bukan salah mereka. Aku juga tidak bisa menyalahkan diriku karena tidak melarang mereka pergi. Ini juga bukan salahku.
Semuanya ini memang seharusnya sudah terjadi. Hal inilah yang benar untuk terjadi. Dan aku hanya bisa menerimanya. Tidak bisa berkutik. Tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun meskipun hujan selalu menjadi titik terlemahku, aku selalu menantikan berhentinya ia. Karena selalu ada pelangi setelah semuanya. Dengan hanya melihat tujuh warna yang melintasi angkasa itu, harapanku selalu kembali melambung naik. Saat itulah titik terkuatku.
Sama seperti sekarang ini, aku sudah berdiri di balik jendela. Menatap langit sehabis hujan, menanti pelangi muncul di angkasa sana.
Aku tidak tahu sampai kapan penderitaanku ini akan berlanjut. Mungkin sampai sepuluh tahun ke depan aku akan selalu begini tiap kali hujan. Namun satu yang selalu pasti, akan ada pelangi sehabis hujan. Hal itulah yang membuatku kuat sampai sekarang.
Hujan boleh saja dingin. Hujan boleh saja basah. Hujan boleh saja mendung. Dan aku boleh saja kedinginan, bermata basah, berjiwa mendung.
Namun segalanya akan sirna dan baik-baik saja jika mentari sudah menunjukkan dirinya. Karena jika langit sudah cerah dan sudah ada pelangi di sana, maka hujan selebat apapun pasti sudah berhenti.


TAMAT

Ditulis oleh:
 Prinsip Putra Laia
Mahasiswa Universitas Teknologi Yogyakarta

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah menulis komentar yang positif.