Hujan.
Dingin. Basah. Mendung.
Telingaku berdengung,
menolak mendengar suara di sekitar. Semuanya terpusat hanya padaku dan hujan.
Seperti butir hujan
yang terasa dingin ketika menyentuh ari-ari, lantai tempatku berbaring kini
juga terasa dingin. Menusuk ke tulang dan membuatku menggigil. Gigiku
bergemeletuk dan bibirku membiru bergetar karenanya. Kendati demikian, aku
tetap telentang tanpa mau berpindah. Rasanya tubuhku tahu bahwa dingin ini
tepat.
Jika aku memiringkan
kepalaku ke arah jendela, aku bisa melihat kaca jendela kamarku yang perlahan
basah. Butir-butir hujan mengairinya. Dan sama seperti jendela, pipiku juga
sudah basah karena mataku. Karena mataku ikut-ikutan hujan. Aku tidak menyeka
ataupun mengelapnya. Aku biarkan saja begitu hingga mengering, sama seperti
nasib jendela yang terabaikan.
Akan tidak lengkap
rasanya jika ada dingin dan basah kala hujan namun mendung menjadi
pengecualian. Tanpa menengadah ke atas langit pun aku bisa tahu jika tidak ada
yang namanya cerah di sana, kecuali jika hujan panas.
Hujan panas itu
berbeda. Namanya saja panas, itu artinya ia bukanlah hujan yang biasa. Ia
memang basah, namun ia tidak dingin dan tidak mendung. Langit tetap cerah dan
aku tidak perlu mengenakan jaket. Tapi aku menyukainya. Ia seperti hal nya
menangis bahagia. Basah namun rasanya hangat.
Jika dipikir-pikir,
mengapa sekarang tidak hujan panas saja?
Setiap orang memiliki
titik kelemahannya masing-masing. Entah itu pada fisik, mental, ataupun
lingkungannya.
Untukku sendiri, hujan
menjadi titik terlemahku. Ia tidak hanya menyerang satu aspek, namun ketiga-tiganya
sekaligus. Fisikku, mentalku, lingkunganku. Sama seperti apa yang terjadi
sekarang ini.
Jika sudah seperti ini,
aku biasanya akan selalu bertanya,
“Kapan hujan berhenti?”
Tidak akan ada yang
menjawab, aku tahu itu. Namun rasanya terasa lebih ringan jika seperti itu. Aku
jadi tidak perlu mendengar harapan-harapan palsu seperti:
“Sebentar lagi.”
“Mungkin nanti malam.”
“Paling sejam dua jam
lagi.”
Lebih baik aku tidak
menaruh harapan pada jawaban-jawaban seperti itu. Aku lebih memilih menunggu
sendiri, membiarkan melodi hujan terus mengalun hingga nada penghabisan. Aku
tidak menikmatinya, namun itu lebih baik.
“Lalu mengapa hujan
menjadi titik terlemahmu?”
Pernah suatu kali seorang
teman dari teman bertanya tanpa basa-basi. Ia hanya memasang wajah penasarannya
seolah menuntut diberi makan.
Aku hanya mendesah
pelan lalu dengan tenang menjawab, “Karena dia dingin, basah, mendung.”
Seolah tidak puas, ia
tetap memandangiku dengan haus. Tanpa diucapkan pun, aku sudah tahu dia meminta
penjelasan lebih.
Temanku yang lain juga
ikut menunggu, mungkin heran dengan ucapanku barusan.
“Apa yang paling kalian
takutkan dalam kehidupan kalian?” Akhirnya aku balik bertanya sebelum menjawab
mereka.
Dengan pose berpikir
mereka saling menjawab,
“Kehilangan.”
“Kematian.”
“Sendiri.”
“Ditinggalkan.”
Aku tersenyum, “Hujan
memberiku semua ketakutan itu.”
Semua alis mereka
seketika bertaut.
Aku tertawa kecil,
menertawai keheranan mereka.
“Bisa dibilang hujan
adalah sumber dari semua ketakutanku itu. Tetapi berbeda dengan kalian, semua
ketakutanku itu sudah terjadi. Dan setiap kali hujan, memori tentang
ketakutan-ketakutan itu menguar, menguap, dan mengendap.”
Wajah penasaran mereka
kini sudah hilang. Dari raut wajah mereka, ada rasa bersalah karena sudah
menanyakan hal sesensitif itu.
“Jangan khawatir. Aku
tidak masalah kok.” Ucapku. Aku tidak menginginkan rasa iba mereka.
Tapi seperti yang
lain-lain, iba mereka pun akhirnya menempel padaku. Tiap kali hujan, pasti akan
selalu ada pesan-pesan masuk seperti:
“Kau baik-baik saja?”
“Apa aku perlu datang
ke sana?”
Dan pesan-pesan iba
lainnya. Aku tidak pernah membalasnya karena biasanya aku baru membaca semua
pesan itu lama setelah hujan berhenti. Dan tiap kali aku membuka semua
pesan-pesan itu, aku hanya bisa terkikik.
Sejenak terpikir olehku
untuk tidak pernah menceritakan hal ini kepada mereka.
Apa sebenarnya yang
terjadi ketika hujan?
Air mata mungkin bisa
mewakilkan jawabannya jika ada orang yang bertanya.
Namun setiap kali
situasi seperti ini terjadi, hanya air mata rasanya tidak cukup. Memori-memori
itu pasti akan selalu teringat olehku.
Dengan jelas, semuanya
itu mengalir deras dalam kepalaku dan bermuara di pelupuk mataku.
Wajah-wajah itu
terbayang olehku. Senyuman-senyuman itu teringat olehku. Kejadian terakhir kali
itu rasanya sudah terekam baik dan kembali diputar dengan cepat.
“Kami akan pulang
sebelum tengah malam.”
“Jaga rumah baik-baik.”
“Seandainya kau tidak
sakit begini, kami pasti sudah membawamu.”
Dan semua
kalimat-kalimat hari itu terus meluncur tanpa henti. Hingga ia akan berhenti
dan disusul suara telepon yang segera kuangkat.
“Selamat malam....Benar
ini dengan.....Maaf kami harus memberitahukan.....Ada kecelakaan
yang....Semuanya mati di........”
Pada titik itu semua
emosiku akan bercampur. Aku tersenyum, meringis, tertawa, berteriak, hingga
akhirnya teriakanku memecah kesunyian dan tangisku meledak seketika.
Aku meraung. Aku
meringis.
Nafasku tercekat.
Suaraku tertahan.
Dadaku sakit. Mataku
panas.
Aku benar-benar
tersiksa.
Alasan semua rasa sakit
ini adalah rasa sesalku. Aku belum bisa menyampaikan semua yang seharusnya
sudah kusampaikan. Aku belum bisa melakukan apa yang seharusnya sudah
kulakukan. Itu membuatku sesak dan hujan menjadi satu-satunya jalan untuk
meluapkan semuanya.
Aku tidak bisa
menyalahkan hujan atas apa yang kini terjadi padaku hanya karena mereka pergi
ketika hujan sedang turun dengan derasnya. Ini bukan salah hujan. Aku juga
tidak bisa menyalahkan mereka karena pergi di saat yang salah. Ini bukan salah
mereka. Aku juga tidak bisa menyalahkan diriku karena tidak melarang mereka
pergi. Ini juga bukan salahku.
Semuanya ini memang
seharusnya sudah terjadi. Hal inilah yang benar untuk terjadi. Dan aku hanya
bisa menerimanya. Tidak bisa berkutik. Tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun meskipun hujan
selalu menjadi titik terlemahku, aku selalu menantikan berhentinya ia. Karena
selalu ada pelangi setelah semuanya. Dengan hanya melihat tujuh warna yang
melintasi angkasa itu, harapanku selalu kembali melambung naik. Saat itulah
titik terkuatku.
Sama seperti sekarang
ini, aku sudah berdiri di balik jendela. Menatap langit sehabis hujan, menanti
pelangi muncul di angkasa sana.
Aku tidak tahu sampai
kapan penderitaanku ini akan berlanjut. Mungkin sampai sepuluh tahun ke depan
aku akan selalu begini tiap kali hujan. Namun satu yang selalu pasti, akan ada
pelangi sehabis hujan. Hal itulah yang membuatku kuat sampai sekarang.
Hujan boleh saja
dingin. Hujan boleh saja basah. Hujan boleh saja mendung. Dan aku boleh saja
kedinginan, bermata basah, berjiwa mendung.
Namun segalanya akan
sirna dan baik-baik saja jika mentari sudah menunjukkan dirinya. Karena jika
langit sudah cerah dan sudah ada pelangi di sana, maka hujan selebat apapun
pasti sudah berhenti.
TAMAT
Ditulis oleh:
Prinsip Putra Laia
Mahasiswa Universitas Teknologi Yogyakarta
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah menulis komentar yang positif.