Kesaksian dari Irene Chandra-Yogyakarta|
Marah?
Kecewa? Secara manusiawi, iya. Banget, karena ini menyangkut masa depan dan aku
tidak mau salah ambil langkah. Sejak awal aku dinyatakan lulus sebagai
mahasiswa komunikasi hampir setiap hari aku mengeluh, karena aku sudah takut
duluan kalau-kalau aku tidak bisa menjalaninya bahkan sebelum aku memulai
langkah pertamaku. Satu tahun hampir berlalu dan Tuhan seperti mengajakku untuk
sejenak menengok ke belakang. Hal-hal yang selama ini kutakutkan,
kekhawatiranku akan prodi yang kupilih, sudah kulewati semua hal itu walaupun harus
dengan jatuh bangun dan juga tangisan. Sejak awal aku memang mempunyai
pemikiran bahwa kedatanganku ke sini adalah sebuah kesalahan, tapi tidak lagi
hari ini. Banyak sekali pelajaran yang Tuhan mau aku dapatkan semenjak aku
datang ke kota ini yang mungkin bahkan tak akan aku dapatkan semisal aku jadi
kuliah di Surabaya. Ya memang kalaupun aku kuliah di Surabaya aku bisa ambil jurusan
yang aku minati, tapi belum tentu aku akan memiliki pertumbuhan rohani yang
sama seperti di Yogyakarta. Ketika aku di Mojokerto, aku merasakan pertumbuhan
rohaniku mati. Aku hanya pergi ke gereja sebagai rutinitas, bahkan mencari-cari
alasan untuk tidak datang ke gereja, ketika mendengarkan kotbah hanya masuk
telinga kiri keluar telinga kanan, aku merasa ke gereja hanya absen muka saja
ke pendeta. Sekarang di Yogyakarta, aku pertama kali mengalami perjumpaan
dengan Tuhan secara pribadi. Tuhan seakan menegurku, Dia mengenal baik diriku
tetapi aku tidak mengenal dengan baik Bapaku.
Selain
itu, aku bisa dipertemukan oleh komunitas (Influence Generation, History Maker)
yang tidak hanya sekadar datang, singgah, dan pergi melainkan siap sedia untuk
membangun aku tiap harinya. Memang benar, manusia menajamkan manusia. Aku
diperhadapkan dengan berbagai macam karakter yang belum pernah kutemui
sebelumnya dan dari situ aku mulai belajar bagaimana memperlakukan atau
menghadapi perbedaan karakter tersebut. Pada masa sekolah, aku merupakan
seorang siswi yang masa bodoh terhadap sesama, karena pikiranku hanya mengenai
diriku sendiri; ya, aku seorang introvert.
Ternyata aku salah, setelah aku datang di Yogyakarta dengan status sebagai
perantau; aku membutuhkan orang lain. Sejak pertama kali aku menginjakkan
kakiku di kota ini, banyak orang-orang yang menyemangatiku dan membantuku
menyelesaikan setiap tugas kuliahku sejak ospek hingga saat ini. Sejak saat
itu, aku mulai merenung atas sikap-sikap individu-ku selama ini, aku sadar aku
gak boleh egois, ada orang-orang di luar sana yang membutuhkan telinga untuk
setiap permasalahan mereka. Bukan, bukan hanya nasihat yang mereka butuhkan,
mereka hanya membutuhkan telinga yang tidak hanya sekadar mendengar melainkan
mendengarkan, bahkan mereka membutuhkan tangan untuk menarik mereka berdiri.
Orang-orang dunia mungkin akan mendukung setiap perbuatan dosamu, tapi
komunitas yang benar akan menegur setiap perbuatan dosamu, bukan teguran untuk
menyalahkan melainkan teguran untuk membangunmu.
Mengingat hal-hal yang sudah kulewati,
aku hanya bisa senyum-senyum sendiri, karena pekerjaan Tuhan Yesus akan selalu
luar biasa. Hanya saja, kita sebagai manusia selalu melihat hal tersebut dari
persepsi kita sendiri; coba cari tahu maksud Tuhan. Ibarat kata, Tuhan itu
Bapa kita. Seorang Bapa akan mengetahui kapasitas dan kemampuan tiap anaknya
dan Ia akan dengan cekatan mengarahkan kita pada rencana-Nya sebelum akhirnya
kita terjebak pada pilihan kita sendiri. Jadi, di manapun Tuhan mau
tempatkanmu, jurusan apapun itu Ia tidak akan meninggalkanmu sendirian, bahkan
sampai luluspun Dia akan menyertai engkau. “If
He’s carried you this far, what makes you think He won’t finish what He
started?”. Ragu merupakan sikap alamiah yang dimiliki oleh manusia, tapi
bagaimana kita meresponi keraguan tersebut sehingga keraguan tersebut tidak
seakan menjadi bayangan kita.
“Sebab
rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah
firman TUHAN.” – Yesaya 55:8.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah menulis komentar yang positif.