Aku berkuliah di program studi yang sampai kini masih kurang populer.
Kurang populer bahkan di antara bidang studi sejenisnya. Jurusan yang hingga kini masih amat
familier dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:
“Kalo lulus nanti jadi apa?”
“Lho, bukannya gak kuliah pun bisa belajar itu
ya?
“Kenapa kamu
masuk jurusan itu?”
“Harusnya kamu
masuk jurusan *** aja.”
Berkali-kali aku harus menepis perasaan minder yang menyeruak karena
terus-terusan diperhadapkan dengan pertanyaan dan pernyataan di atas. Berkali-kali
juga aku dikuatkan oleh orang-orang di sekitarku, juga orang tuaku untuk tidak
meragukan jalan yang sudah Tuhan tentukan. Bisa berkuliah di kampus ini adalah
sebuah anugerah tersendiri yang tak pantas kudapatkan. Aku tak pernah bisa
mengeluh setiap mengingat cara Tuhan yang ajaib sehingga dapat menempatkanku di
kampus ini. Meski demikian, perasaan ragu itu tetap ada. Bahkan memasuki
semester ketiga, aku semakin sering berjumpa dengan mata kuliah yang menurutku
secara pribadi, membuatku semakin meragukan dan menjauh dari Tuhan. Bagaimana
tidak, mata kuliah yang kupelajari sering kali mengandalkan hikmat manusia dan
kalaupun menyinggung tentang Tuhan, hal-hal tersebut bertentangan dengan iman
yang kepercayai selama ini. Semakin
lama semakin aku mempertanyakan keputusan Tuhan menempatkanku di jurusan ini.
Meski demikian, ayahku sering berkata bahwa Tuhan akan memakaiku untuk
memperkenalkan Indonesia kepada bangsa-bangsa, dan aku pun mengamini hal itu.
Tetapi seperti yang kukatakan, akhir-akhir ini aku mulai meragukan arah
tujuanku.
Sejak awal masuk
kuliah, aku mempunyai mimpi. Mimpi untuk bisa pergi ke luar negeri dengan membawa nama
universitas. Orang tuaku pun mendukung mimpi itu. Terdengar sepele dibandingkan
doa yang selalu ayahku ucapkan mengenai pergi ke bangsa-bangsa. Tetapi tetap
saja bukan sebuah mimpi kecil yang bisa kuraih hanya dengan berdoa dan belajar
giat. Paling tidak itulah yang selalu kupikirkan, mengingat keseharianku di
kelas yang tidak sebanding dan sepintar teman-temanku. Satu hal lain yang sempat membuatku merasa minder
adalah bahwa di antara teman-temanku, aku termasuk salah satu yang kurang
menonjol dalam skill individu. Banyak dari temanku yang sudah pintar menari
tarian tradisional, menyanyi lagu tradisional, biasa mementaskan pertunjukkan,
menjadi MC, bahkan memiliki paket hemat,
yaitu satu orang dengan banyak kemampuan di atas. Aku tidak akan heran kalau
mereka didelegasikan untuk pergi ke luar negeri mewakili Indonesia, karena
mereka akan tahu apa yang harus dilakukan untuk mengharumkan nama bangsa. Kalau
aku? Apalah diriku, hanya seorang yang ‘kebetulan’ berdarah suku yang bidang
bahasa dan sastra-nya kupelajari di kuliah. Terlalu banyak hal yang kujadikan
alasan untuk meragukan kuasa Tuhan saat itu. Mana mungkin aku bisa pergi ke
luar negeri dengan kondisi yang seperti ini?
Meski demikian, mimpi ini belum padam. Aku berusaha mencari informasi
pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Bahkan salah seorang kakak gereja
memberiku link yang berisi program exchange
ke Amerika Serikat. Saat aku membaca program itu, mataku berbinar-binar.
Berbekal berani bicara bahasa Inggris, aku merasa ada harapan untuk bisa pergi
ke luar negeri tanpa mengeluarkan ongkos. Merasa rendah diri dengan keadaan,
tapi pada saat yang sama merasa sombong sekali dengan kemampuan yang pas-pasan.
Yap, kebodohan manusia
diriku. Lupa bahwa semua masih dalam seizin Tuhan. Aku pun mencoba mengisi form
yang ada.
Sampai
suatu saat, kepala program studi jurusanku memintaku untuk menemui beliau.
Beliau bertanya apakah aku bisa berbahasa Inggris aktif? Aku menjawab ya. Paling
tidak jika harus berkomunikasi dan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, aku
masih bisa melakukannya dengan cukup percaya diri. Ini juga merupakan satu hal
lagi yang sering dipertanyakan orang-orang sekitarku. Lebih lancar berbahasa
Inggris, tapi malah ambil jurusan bahasa daerah. Singkat cerita, ibu kaprodi
(sebutan untuk kepala program studi) bercerita bahwa aku akan dicalonkan untuk
seleksi program short course di Thailand.
Kaget? Iya. Bingung? Bingits. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan, dan beberapa
saat setelahnya, aku merasa seperti sedang melakukan talkshow dengan diriku sendiri.
“Bukankah
Thailand termasuk luar negeri?”
Ya
iyalah.
“Lantas,
impianmu terwujud dongs?”
Eh,
iya ya.
“Tapi kenapa Thailand? ...dan kenapa aku?”
Mungkin, karena wajahku mirip orang
Thailand? #plak (2)
Sementara
masih terbingung-bingung, orang tuaku bertanya alasanku bertemu dengan ibu
kaprodi. Aku pun bercerita bahwa diriku mungkin akan pergi ke Thailand kalau
Wakil Dekan acc. Bukan, lebih tepatnya kalau Tuhan acc. Singkat cerita (lagi), aku terpilih di antara ketiga
calon yang diajukan ibu kaprodi. Kedua orang lainnya adalah seniorku yang
kudengar sudah jauh lebih berpengalaman dalam hal-hal mewakili kampus. Bahkan salah
satunya belum lama menjadi anggota volunteer
ke luar negeri mewakili kampus. Hanya satu hal yang terus terngiang di kepalaku
bahkan sampai hari keberangkatanku ke Thailand. Aku tidak layak. Aku tidak
pantas mendapatkan kesempatan ini. Aku, orang yang terlalu banyak mengeluh dan
mempertanyakan keputusan Tuhan. Orang yang kadang lebih suka mengeluh dibanding
mengejar ketinggalan teman-temannya. Aku terlalu sibuk merasa rendah diri,
sampai tak bisa melihat bahwa Tuhan mengangkat dan merendahkan orang-orang
sesuai kebajikan-Nya. Aku terlalu sombong sampai merasa bisa menentukan langkahku,
dan lupa bahwa hidupku bukanlah dalam kehendakku. Aku hanya bisa terkagum-kagum
bagaimana Tuhan menggerakan potongan-potongan puzzle dalam hidupku sekedar untuk menjawab segala keraguanku.
Keraguanku tentang mengapa Tuhan menempatkanku di jurusan ini. Keraguanku untuk
bisa ke luar negeri dengan keadaan seperti ini. Aku bahkan tidak bisa
menyombongkan diri, karena ini sama sekali bukanlah hasil usahaku. Yang terus
kulakukan hanyalah menyampaikan kerinduanku pada Tuhan. Bahkan sebelum aku
menyampaikannya, Tuhan terlebih dahulu mengerti isi hatiku. Bukan seperti yang
kurancangkan, tetapi sesuai dengan apa yang berkenan di hadapannya. Serangkaian
kejadian berikutnya pun merupakan keajaiban pekerjaan Tuhan semata. Segala
proses dimudahkan bahkan seakan belum cukup, Tuhan mengirimkan orang-orang
untuk memberkatiku. Program ini sepenuhnya ditanggung oleh pihak panitia, dan
biaya keberangkatan-pulang ditanggung oleh pihak fakultas. Hanya uang saku yang
perlu kusediakan sendiri. Dan ya, aku tak mengeluarkan sepeser pun dari
dompetku, bahkan dompet orangtuaku. Seluruh uang saku merupakan kemurahan dari
orang-orang yang hatinya Tuhan gerakkan untuk memberkatiku. Aku tak bisa berkata-kata.
Dari kejadian ini aku benar-benar mengerti makna bahwa Kasih Karunia adalah
sesuatu yang Tuhan berikan, bahkan pada saat kita berada dalam posisi yang amat
sangat tidak layak untuk menerimanya. Keraguanku dihapuskan-Nya, dan
pandanganku pun diubahkan. Tuhan tidak pernah membuat kesalahan. Tetap kerjakan
bagian kita, dan lihat bagaimana Tuhan mengubah pertanyaan-pertanyaan kita
menjadi ucapan syukur. Dia menghapuskan keraguan kita, dan menumbuhkan iman
yang lebih kuat dari sebelumnya. Percayalah pada-Nya, dan tetap lakukan bagian kita.
“Sebab rancangan-Ku bukanlah
rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti
tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan
rancangan-Ku dari rancanganmu.” -Yesaya 55:8-9
Semoga bermanfaat bagi pembaca, terutama buat teman-teman yang masih ragu sama keputusan Tuhan, entah itu soal jurusan, kampus, keadaan keluarga, dsb. Mistakes are never in His to-do list, only goodness. God bless us.
Ditulis Oleh: Kezia Permata
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah menulis komentar yang positif.